Oleh: Indonesian Children | Desember 14, 2009

Penyakit Guillain-Barre Syndrome (GBS) : Penatalaksanaan Rehabilitasi Medis, Terapi okupasi atau Fisioterapi

Penatalaksanaan Rehabilitasi Medis, Terapi okupasi atau Fisioterapi 

Pada Penyakit  Guillain-Barre Syndrome

Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer

Meskipun sebagian besar penderita GBS dapat sembuh spontan, namun lama perjalanan penyakit GBS tidak dapat diprediksi dan sering membutuhkan perawatan rumah sakit dan rehabilitasi selama berbulan-bulan. Seiring dengan kembalinya suplai saraf, penderita membutuhkan bantuan untuk mampu menggunakan otot-otot yang terpengaruh oleh GBS secara optimal.

Setelah fase akut terlewati, pasien membutuhkan rehabilitasi untuk mencapai fungsi tubuh yang telah hilang. Rehabilitasi ditujukan terutama untuk memperbaiki fungsi aktivitas sehari-hari (AKS), seperti menggosok gigi, mencuci dan berpakaian.

Tujuan terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui berbagai gerakan fisik dan latihan; sehingga terbentuk kekuatan, fleksibilitas, dan lingkup gerak sendi yang optimal. Seorang fisioterapi akan melakukan program latihan progresif dan memberikan petunjuk mengenai gerakan fungsional yang benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah saat penyembuhan.

Terapis okupasi memfokuskan terapi pada aktivitas untuk membantu pasien melakukan aktivitasnya sehari-hari secara optimal.  Dalam terapi, digunakan beberapa alat bantu tambahan seperti brace pada tungkai atau lengan, cane, walker, dan kursi roda untuk membantu mobilisasinya selama fase penyembuhan atau sekiranya GBS membuat penderita hidup dengan disabilitas yang permanen. Penggunaan alat potong bantuan juga diperlukan untuk membuat pasien mandiri dengan AKSnya.

Seorang terapis wicara juga berperan penting dalam meningkatkan kemampuan bicara dan menelan pasien pasca intubasi ataupun trakeostomi. Terapis wicara akan memperbaiki kemampuan penderita dalam berkomunikasi. Semua ini akan tergabung dalam tim dimana dokter, perawat, dan anggota tim medis lainnya dengan pengetahuannya masing-masing, sehingga dapat menentukan tujuan terapi dan prioritas terapi berdasarkan tujuan tersebut. Setelah rehabilitasi, pasien harus mampu berfungsi secara utuh di lingkungan rumahnya masing-masing.

Pada GBS, didapati beberapa masalah mendasar dari sudut pandang rehabilitasi, terutama masalah muskuloskeletal, kardiopulmonari, otonomik dan sensorik.

Muskuloskeletal

Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari medulla spinalis ke neuromuscular junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron. Saraf yang menginervasi motor neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang . Jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.

Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua, dalam satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah.

Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan otot, dan keterbatasan luas gerak sendi (LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan terjadi pemendekan otot, dan pada akhirnya keterbatasan LGS.

Kardiopulmonari

Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga . Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada berkurang.

Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun menurun. Sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang.

Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang mengalami kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang sudah lemah tersebut, semakin berat melakukan ekspansi paru. Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya atelektasis, sehingga fungsi ventilasi paru berkurang .

Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat terserangnya cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan menelan tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang akan menjadi sumber penyebab infeksi paru. Terjadinya infeksi paru akan meningkatkan kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga menurunkan kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan kebutuhan ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan sangat besar, yang akan memperburuk kondisi pasien.

Sistem Saraf Otonomik

Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan saraf vagus . Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan darah, keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi.

Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba, dan menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan banyak mempengaruhi program fisioterapi. Tetapi dalam memberikan pengobatan fisioterapi hendaknya selalu mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila hendak memberikan perubahan posisi yang berarti atau mobilisasi.

Sensasi

Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyeri. Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak digerakkan.

Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya perlu dipikirkan untuk pencegahannya.

 

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

Penatalaksanaan rehabilitasi penderita GBS harus dimulai sejak awal penyakit, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi, yakni pada fase progresif serta fase penyembuhan. Pada fase progresif, yang penting diperhatikan adalah bagaimana mempertahankan kondisi pasien, sehingga tidak terjadi komplikasi. Penting diperhatikan semua aspek medis dan rehabilitasi pada fase ini, karena pada fase ini, umumnya kondisi pasien akan terus menurun.

Pada fase penyembuhan, prinsip rehabilitasi ditujukan terutama pada peningkatan kekuatan dan optimalisasi kondisi pasien. Prinsip rehabilitasi pada fase ini terutama ditujukan pada masalah muskuloskeletal dan kardiopulmoner. Tujuan utama dari rehabilitasi pada penderita GBS secara keseluruhan adalah untuk mengoptimalisasi kemampuan fungsional penderita.
Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal

Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik.

Fase progresif

Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu. Untuk meningkatkan kekuatan otot, dapat dilakukan latihan penguatan secara aktif, bila kondisi pasien memungkinkan. Namun apabila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya dilakukan latihan penguatan dengan bantuan (aktif asistif). Pada penderita GBS yang sangat lemah, perlu diberikan latihan pasif, dimana terapis yang akan menggerakkan angota badan penderita.Karena umumnya kondisi penderita akan terus menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan akan semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Latihan menggerakkan anggota tubuh dianjurkan dimulai dari bagian bawah, dan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Hal ini sekaligus juga dapat meningkatkan motivasi pasien secara psikis. Latihan pergerakan setiap sendi dilakukan secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot maupun sendi yang tertinggal.

Dalam menggerakkan anggota badan, perlu diperhatikan tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Pasien tidak boleh dibiarkan terlalu lelah atau melakukan gerak paksa dalam menggerakkan anggota tubuh, karena hal ini dapat merusak motor unit. Berikan pengertian dan kesadaran kepada pasien bahwa gerakan yang dilakukan secara rutin lebih penting dalam mengembalikan gerakan otot, bila dibandingkan dengan gerakan yang terlalu dipaksakan. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari dapat ditingkatkan secara bertahap.

Perlu diingat pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara penuh; sehingga fisioterapis perlu membantu penderita dalam menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, atau paling sedikit sampai lingkup sendi yang fungsional.

Seperti halnya latihan untuk otot, latihan pergerakan sendi sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS.

Dalam melakukan evaluasi luas gerak sendi, dilakukan pengukuran sudut setiap sendi dengan goniometer, dalam satuan derajat. LGS seharusnya tetap terjaga dari waktu ke waktu, agar supaya penderita mampu berfungsi secara maksimal.

Fase penyembuhan

Fase penyembuhan merupakan fase lanjutan dari fase progresif, dimana rehabilitasi ditekankan pada pemeliharaan panjang otot dan lingkup gerak sendi, sehingga diharapkan panjang otot dan LGS akan tetap terjaga. Rehabilitasi pada fase lanjutan ini lebih menekankan pada upaya peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang ada serta dalam masa pemulihan. Dalam menangani masalah kekuatan otot, fase ini masih berfokus pada peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian, beban latihan yang diberikan belum boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif masih terbatas. Program latihan aktif dapat ditingkatkan apabila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Jenis latihan penguatan yang diberikan kemudian dapat ditingkatkan menjadi bentuk latihan aktif resistif, dimana dalam upaya peningkatan kekuatan otot, diberikan beban. Beban yang diberikan dapat bervariasi, baik secara manual ataupun dengan alat. Beban manual diberikan oleh fisioterapis, sedangkan alat yang digunakan dapat macam-macam, misalnya dengan quadricep bench. Karena tujuan akhir rehabilitasi adalah untuk memaksimalkan kemampuan fungsional, perlu diperhatikan pada otot mana saja akan diberikan latihan tersebut; yakni terutama pada otot-otot yang diperlukan dalam beraktivitas.

Untuk mengevaluasi perbaikan kondisi pasien, dapat dilakukan evaluasi perbaikan kekuatan otot dengan menggunakan metode manual muscles testing (MMT). Pengukuran kekuatan otot dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan melihat adanya perbaikan dalam evaluasi, baik terapis maupun penderita dapat melihat perkembangan yang terjadi, sehingga akan meningkatkan motivasi bagi keduanya.

Latihan pergerakan sendi pada fase penyembuhan tidak berbeda dengan latihan gerak sendi pada fase progresif; yakni berupa latihan gerak pada setiap sendi secara sistematis, dan di akhir gerakan aktif, ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi maksimal untuk mempertahankan LGS.

Pemeliharaan panjang otot dapat dilakukan sekaligus pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS; terkecuali untuk beberapa otot yang melewati dua sendi, misalnya otot quadriceps, iliotibial band, dan sartorius. Otot-otot ini penting dalam kegiatan penderita sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh; sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti. Pada otot-otot ini, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya.

Evaluasi panjang otot sulit dilakukan, karena bersifat individual dan dipengaruhi aktivitas dan keturunan. Salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh; atau dengan jalan membandingkan otot sebelah kanan dengan sebelah kiri, atau sebaliknya; sehingga dapat dinilai apakah panjang otot yang bersangkutan cukup baik untuk penderita dapat melakukan aktivitasnya kembali.

Penatalaksanaan pada Masalah Kardiopulmoner

Masalah kardiopulmoner lebih menonjol terutama pada fase pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot interkostal akibat berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Hal ini menyebabkan penderita tidak mampu melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital akan berkurang. Kemampuan batuk penderita juga akan berkurang, sehingga menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Hal ini menyebabkan saluran pernafasannya menyempit, dan ekspansi paru berkurang. Pada akhirnya akan terjadi penurunan kapasitas vital penderita.

Berkurangnya Ekspansi Dada

Untuk meningkatkan kemampuan ekspansi dada, perlu dilakukan latihan peningkatan ekspansi dada. Namun pada fase ini, latihan secara pasif sulit dilakukan, yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bantuan ventilator atau hiperinflasi manual. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli akan bertambah sehingga mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu perlu dilakukan pemeliharaan kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk dapat terpelihara dengan baik. Bila kekuatan otot interkostal sudah kembali pulih, rongga dada akan siap untuk mengembang kembali; sehingga latihan penguatan dapat segera diberikan. Karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan hiperinflasi manual dapat memberikan efek samping, seperti barotrauma; maka latihan aktif harus segera dilakukan. Pemberian resep latihan masih harus memperhatikan intensitas dan frekuensi latihan dalam satu sesi dan dalam sehari. Hal ini akan memberikan kesempatan istirahat yang cukup bagi penderita, untuk menghindari kelelahan.

Gangguan Pembersihan Jalan Nafas

Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekret saluran pernafasan. Pembersihan sekret merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh, namun apabila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja silia; maka diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.

Penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan umumnya sulit untuk menghasilkan batuk yang cukup kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, diameter saluran pernafasan akan menyempit, dan volume udara yang masuk ke paru akan berkurang; sehingga dengan sendirinya kemampuan ventilasi juga akan berkurang.

Pada fase awal, pembersihan saluran pernafasan dapat dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi dapat diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, dapat dilakukan drainase postural untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan distal ke proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus mampu batuk; bila penderita tidak mampu, maka perlu dilakukan suction.

Selama melakukan drainase postural, perlu diwaspadai adanya tanda-tanda gangguan otonomik, seperti laju pernafasan, nadi, ataupun saturasi oksigen. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya mampu terlaksana pada fase penyembuhan, dimana otot-otot pernafasan mulai menguat. Pada fase pertama bila otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, latihan batuk dapat bermanfaat untuk mempertahankan kekuatan otot.
Gangguan Menelan

Pada penderita GBS dengan gangguan menelan, resiko infeksi paru-paru semakin tinggi akibat kemungkinan pneumonia aspirasi. Bila pasien mampu batuk kuat, maka benda asing dapat keluar dari saluran pernafasan sekaligus membersihkan sekresi. Namun, pada penderita dengan gangguan menelan umumnya disertai dengan kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.

Penderita GBS yang disertai adanya gangguan menelan biasanya menerima makanan melalui selang yang langsung masuk ke lambung, sehingga resiko aspirasi lebih kecil.
Penatalaksanaan pada Masalah Otonomik

Gangguan saraf otonomik, misalnya ketidakstabilan tekanan darah, diaphoresis, ataupun hipotensi postural akan muncul bila kerusakan selubung myelin mencapai tingkat vertebrae torakal atau lebih tinggi lagi, yakni saraf kranialis. Gangguan otonom ini merupakan salah satu hal yang perlu dicermati dalam rehabilitasi, terutama dalam hal mobilisasi; dimana saat mobilisasi, tubuh perlu melakukan adaptasi, baik karena pengaruh postural ataupun terhadap sistem kardiovaskuler. Karenanya, perlu dicermati perubahan tekanan darah saat dilakukan tindakan rehabilitasi.


Penatalaksanaan pada Masalah Sensasi

Gangguan sensibilitas yang sering muncul pada penderita GBS adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemutan. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian modalitas TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation).

Nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh imobilisasi lama di tempat tidur. Nyeri ini dapat dikurangi dengan melakukan peregangan pada sendi-sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, pergerakan pasif anggota gerak, masase, perubahan posisi yang cukup sering, serta dengan medikasi. Penggunaan narkotika sebagai pengurang nyeri harus dilakukan secara bijaksana, karena adanya resiko ileus pada penderita GBS.2 Bila rasa nyeri tidak berkurang, hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.

Rasa tebal atau baal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan pada bagian tubuhnya, misalnya akibat penekanan tonjolan tulang pada kasur. Bila berlanjut, hal ini dapat menyebabkan luka lecet dan akhirnya dekubitus. Sebagai usaha pencegahan ulkus ini, perubahan posisi penderita harus selalu dilakukan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.

Saat pasien dirawat dengan ventilator, ia tidak mampu bicara ataupun berkomunikasi dengan cara lain; karenanya mungkin timbul rasa terasing, frustasi, kemarahan, syok, depresi, ansietas, ataupun rasa takut hidup tergantung selamanya dengan kerusakan permanen. Karenanya penting adanya dukungan penuh dari keluarga sehingga pasien dapat mengekspresikan perasaannya dan mendapatkan ketenangan batin. Pada waktu penderita GBS tidak lagi memerlukan ventilator, selang akan dicabut, sehingga pasien dapat berbicara kembali, meskipun otot-otot yang umumnya digunakan untuk berbicara (bibir, mulut, lidah, dan pita suara) masih sangat lemah sehingga bicara menjadi kurang jelas, sehingga pasien membutuhkan bantuan terapis wicara untuk mengajarinya supaya dapat berbicara dengan lancar kembali.

Komunikasi yang efektif perlu dibangun diantara pasien dan dokter, pelaku rawat medis, keluarga, dsb. Bila bicara tidak mungkin dilakukan, metode komunikasi lainnya dapat digunakan, misalnya dengan penggunaan alat tulis ataupun bahasa isyarat melalui isyarat mata, jari, isyarat tunjuk atau gerakan tangan sebagai respon terhadap orang lain. Papan berisi kartu atau balok-balok berwarna dengan tulisan berupa pertanyaan standard yang bervariasi mungkin dapat digunakan pada pasien dengan kemampuan gerak yang minimal. Atau bila mungkin, dapat digunakan media lainnya seperti mouthpiece menggunakan sinyal Morse yang dihubungkan dengan komputer yang akan mentransformasikan sinyal menjadi alfabet, dan lain sebagainya. Dibutuhkan ide kreatif serta selera humor dan kesabaran yang tinggi dalam mengatasi masalah ini.

Selain mengalami periode sulit secara fisik, penderita GBS juga mengalami periode sulit secara psikologik; dimana ia terbaring tanpa daya, dan harus menggantungkan hidupnya pada orang-orang di sekitarnya. Karena itu, perlu diberikan informasi yang jelas sejak awal mengenai perjalanan penyakit, bahwa sebagian besar penderita akan sembuh, sehingga muncul optimism baik dari penderita maupun pihak keluarga. Meski begitu, harus dihindari kemungkinan optimisme yang berlebihan sehingga keluarga dan penderita menjadi kurang sensitif. Konseling dan medikasi akan membantu mengatasi perasaan penderita serta keluarganya. Kerabat yang berkunjung hendaknya terus menyemangati dan membuat pasien tetap dapat mengikuti perkembangan aktivitas keluarga dan teman-temannya, untuk menghindari perasaan terisolasi dari kehidupan normal serta mempersiapkannya untuk fase penyembuhan dan pengenalan ke dalam lingkungannya kembali. Sejumlah penderita merasa nyaman bila mendapatkan kunjungan dari kerabat ataupun orang lain yang pernah sembuh dari penyakit serupa. Manajemen nyeri, pengertian mengenai penyakit serta terapi gejala sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita GBS.

Saat pasien GBS mulai sembuh, penggunaan otot-otot mulai kembali, sehingga perlu latihan otot-otot tersebut. Pasien akan terkejut betapa sedikit hal yang dapat ia kerjakan setelah berbaring beberapa minggu di tempat tidur saja. Fisioterapis dan terapis okupasi akan mengajarkan latihan untuk memperkuat otot-otot, serta menggunakan otot-otot tersebut secara benar dan meningkatkan stamina. Hari dimana seorang pasien dengan paralisis mampu duduk kembali merupakan suatu hari besar yang sangat berarti, sementara hari-hari besar lainnya adalah hari dimana penderita dapat duduk tanpa bantuan, duduk di kursi roda, dan berjalan dengan atau tanpa alat bantu, seiring dengan terlatihnya otot mereka. Interval antara fase-fase ini dapat sangat panjang dan melelahkan, berkisar dari satu setengah bulan hingga satu setengah tahun, tergantung dari kondisi pasien. Rehabilitasi juga berkaitan erat dengan kondisi psikologis penderita, serta adanya periode ‘mati’ dimana tidak dijumpai adanya perbaikan apapun. Untuk meningkatkan motivasi pasien, fisioterapis perlu mengukur peningkatan stamina otot yang lambat, karena sesungguhnya rehabilitasi membutuhkan waktu yang panjang dan kesabaran baik dari pasein ataupun personil kesehatan.

Endurans hanya dapat dibangun dengan ketekunan; hal ini merupakan sesuatu yang sulit mengingat fakta bahwa penderita GBS memerlukan periode penyembuhan yang panjang antara tahapan-tahapan latihan. Pada pasien yang sulit menjumpai adanya perbaikan, mungkin perlu dibuat tujuan-tujuan jangka pendek bagi mereka sendiri; misalnya dimulai dari berjalan, kemudian jogging, lalu mengendarai sepeda, dsb. Mulailah dari tahap yang mudah; saat tubuh mulai belajar dan mengetahui kemampuannya sendiri, tujuan yang ingin dicapai dapat lebih ditingkatkan secara gradual. Jangan lupa perlu adanya waktu istirahat diantara tahapan latihan, atau mungkin interval 1 atau 2 hari diantaranya.

Selama fase rehabilitasi, pasien diajarkan untuk menggunakan energinya yang terbatas secara bijak, antara lain dengan menggerakan badannya secara tepat, menghindari rutinitas yang tidak perlu, dan mengkompensasikan aktivitas yang sulit dengan gerakan ataupun aktivitas lainnya.

Kekuatan otot umumnya kembali pertama-tama pada lengan, kemudian tangan, sehingga terapi fisik dimulai dengan latihan pada lengan dan bahu. Hal-hal mendasar seperti halnya memegang pensil dan menggunakannya harus kembali dipelajari. Kekuatan otot perlu diperiksa secara rutin; otot yang lemah perlu dicari untuk kemudian dilatih dan diperkuat melalui latihan-latihan penguatan spesifik. Dengan bertambahnya kekuatan otot, rasa lelah akan semakin berkurang.

Pasien akan belajar untuk memacu dirinya sendiri, meski masih dalam observasi; dengan melakukan bermacam latihan sampai mencapai keterbatasan endurans, namun tidak melebihi batasnya. Seorang terapis harus mampu mengenali tanda dan peringatan dari tubuh apabila batasan itu terlampaui, antara lain adanya kesemutan, baal ataupun abnormalitas sensorik lainnya pada kelompok otot tertentu. Terlalu memaksakan diri akan berakibat timbulnya nyeri, spasme, kelemahan, dan fatigue pada otot yang sementara, sehingga rehabilitasi haruslah dihentikan sementara sampai ototnya kembali pulih.

Di sinilah pasien akan belajar mengetahui keterbatasannya, bagaiman menilai tanda dan gejala dari tubuhnya sendiri, serta kebutuhannya akan istirahat.  Dalam aktivitas sehari-hari, kadang dibutuhkan usaha dan konsentrasi lebih, sehingga hal ini perlu dimengerti dan dihargai oleh orang-orang di sekeliling penderita.

Kelelahan atau berkurangnya endurans otot merupakan masalah baik selama proses rehabilitasi dan masa penyembuhan. Hampir 80% penderita yang nampaknya sembuh dan hidup normal kembali, kadang masih dijumpai kelelahan ataupun fatigue; dan pada beberapa kasus, hal ini tidak kunjung berkurang. Seperti halnya rasa kesemutan dan nyeri, nampaknya penderita harus belajar untuk hidup dengan hal itu sebagai bagian hidupnya.

Sekitar 50-75% pasien yang sembuh mengeluh adanya nyeri tertusuk jarum serta sensasi sensorik yang aneh pada tungkai dan kaki. Gejala tersebut bertambah pada sore dan malam hari, serta setelah berjalan jauh. Hal ini dapat bertahaan sampai beberapa tahun setelah serangan GBS pertama, sedangkan gejala persisten mungkin dipengaruhi oleh derajat kerusakan aksonal yang terjadi. Analgetika niasa mungkin tidak dapat mengurangi gejala, sehingga perlu ditambah dengan medikasi lainnya.

Selama penderita menjalani rehabilitasi, terkadang perlu diperhatikan adanya suatu kebutuhan khusus, seperti halnya keinginan pasien untuk memikirkan kembali hidupnya, rumah, mobil, hobi, pekerjaan, dsb. Hal ini diharapkan dapat menambah kualitas hidup penderita dan membuatnya dapat hidup senormal mungkin. Bila diperlukan, konseling profesional dapat diadakan untuk meningkatkan rasa percaya diri serta harga dirinya sebagai manusia.

Daftar Pustaka

  1. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann; 1996. p.1911-16.
  2. Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.49-55.
  3. Kӧller Hubertus, Hartung Hans-Peter. Neuromuscular rehabilitation: diseases of the motor neuron, peripheral nerve and neuromuscular junction. In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.657-676.
  4. Penatalaksanaan fisioterapi pada Guillain-Barre syndrome. Available from: http://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=7.
  5. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology. 7th edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.
  6. Miller Andrew. Guillain-Barre Syndrome. [updated Dec 19, 2007]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/792008-overview.
  7. Guillain-barre syndrome. [Update: May 31, 2007]. Available from: http://www.mayoclinic.com/health/guillain-barre-syndrome/DS00413.
  8. Guillain-Barre Syndrome. [Update: 2009]. Available from: http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-Barre_Syndrome.htm.
  9. Guillain-Barre Syndrome (GBS) Support Group. Available from: http://www.dailystrength.org/news/Guillain-Barre-Syndrome-GBS
  10. Guillain-Barré Syndrome. [update  2009]. Available from: http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp?channel_id=0&disease_id=325&section_name=condition_info.

 

dr Widodo Judarwanto SpA, Children Allergy clinic dan Picky Eaters Clinic Jakarta. Phone 5703646   0817171764 – 70081995. email : judarwanto@gmail.com,

KORAN INDONESIA SEHAT Yudhasmara Publisher

Jl Taman Bendungan Asahan 5 Jakarta Pusat Phone : (021) 70081995 – 5703646  https://koranindonesiasehat.wordpress.com/

 

 

 

 

Copyright © 2009, Koran Indonesia  Sehat  Network  Information Education Network. All rights reserved.


Tanggapan

  1. Tlg advis.sy penderita gbs sejak 13 thn lalu,kedua otot gastrocnemius dan telapak kaki masih sangat lemah.sehingga masih jalan bebek


Tinggalkan komentar

Kategori